banner 160x600
banner 160x600
banner 160x600

Hanya Di NTB, Bertanya Kepada DPRD Diganjar Dilaporkan Ke Polisi

Hanya Di NTB, Bertanya Kepada DPRD Diganjar Dilaporkan Ke Polisi
banner 160x600
Bagikan:

KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT (SInews) – Malang benar nasib M. Fihiruddin seorang warga Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat ini, bukannya memperoleh jawaban yang baik dari wakil rakyatnya, ia justru dipolisikan setelah bertanya kepada wakil rakyatnya melalui forum WhatssApp yang katanya terbuka untuk bisa bertanya kepada para wakil rakyat.

Pertanyaan itu terkait dengan dugaan tiga Anggota DPRD Provinsi NTB yang terciduk menggunakan narkoba oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) saat melakukan kunjungan kerja di Jakarta. Kabar yang diterima Fihir (M. Fihiruddin -RED), tiga anggota itu bebas setelah ditebus dengan uang sejumlah Rp 150 juta per orang, dengan redaksional lengkap sebagai berikut:

“Meminta penjelasan kepada Ketua DPRD Provinsi NTB, Hj Isvie Rupaeda, terkait ada kabar angin yang masuk ke pihaknya (M Fihiruddin, red), kalau kemarin pada saat beberapa anggota DPRD Provinsi Kunker ke Jakarta, ada 3 orang diduga oknum anggota DPRD Provinsi NTB keciduk memakai narkoba, dan ditebus 150 juta/orang. Sayangnya diduga oknum anggota ini 2 orang itu dari partai berazas nasionalis religius dan 1 orang berazas nasionalis. Gawat mental kita”.

Tulisan pertanyaan Fihir di grup Whatsapp (WA) POJOK NTB (11/10/2022) tersebut lantas menyebar dan menjadi polemik di masyarakat.

Tidak Dijawab, Malah Disomasi

Berdasarkan alasan diatas, Pimpinan Dewan DPRD Provinsi NTB memutuskan memberikan SOMASI kepada Fihir. Surat Somasi Pimpinan DPRD NTB bernomor 180/953/DPRD/2022 dan langsung ditandatangani oleh Ketua DPRD NTB – Hj Baiq Isvie Rupaeda, serta tiga Pimpinan Dewan lainnya yakni H Muzihir, Nauvar Furqoni Farinduan, dan Yek Agil, dan dikeluarkan pada 14 Oktober 2022 silam, yang berisikan meminta kepada M Fuhiruddin untuk melakukan klarifikasi dan membuktikan statemen yang disampaikannya di depan publik paling lambat 2×24 jam sejak tanggal somasi tersebut disampaikan.

Ketua DPRD NTB Hj. Baiq Isvie Rupaeda menyatakan, Surat Somasi tersebut berkaitan dengan lontaran pertanyaan yang dilontarkan, pada ruang publik grup Whatsapp (WA) POJOK NTB tanggal 11 Oktober 2022 sekitar pukul 11.33 wita.

“Dampak dari statemen tersebut yang tidak mengandung kebenaran dan kemudian telah dipublish ke publik telah menimbulkan penilaian yang buruk kepada institusi DPRD Provinsi NTB dan menimbulkan gejolak diinternal anggota DPRD Provinsi NTB karena merusak nama baik anggota DPRD Provinsi NTB,” kata Isvie.

Sementara itu, Direktur Logis NTB, M Fihiruddin, mengaku telah secara resmi menerima surat somasi dari Pimpinan DPRD NTB pada Sabtu 15 Oktober 2022.

“Saya sudah terima surat somasi tersebut. Saya santai saja. Ngapain saya urus (Somasi DPRD NTB Saya atas nama pribadi, saya terima kabar burung dan saya pertanyakan di ruang publik, dan tetap saya mengacu kepada azaz praduga tak bersalah,” tegas Fihir kepada sejumlah wartawan (11/10/2022).

Fihiruddin Lantas Dilaporkan Ke Polisi

Buntut dari tidak diindahkannya somasi tersebut oleh Fihir, DPRD Provinsi NTB lantas melaporkan Fihir yang juga merupakan Direktur Lombok Global Institut (Logis) NTB itu, ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda NTB, Senin (17/10/2022) malam.

“Iya sudah dilaporkan, Kita ingin Fihir itu membuktikan ucapannya. Katanya itu ada fakta. Katanya laporan itu fakta. Silakan dibuktikan,” ujar Isvie, Selasa (18/10/2022).

Kantor DPRD NTB Digeruduk Massa

Buntut dari kegaduhan yang diciptakan DPRD Provinsi NTB dengan mempolisikan warga masyarakat yang bertanya kepada wakil rakyatnya tersebut, menimbulkan aksi massa yang justru mengganggu kenyamanan warga masyarakat konstituennya.

Beberapa elemen mahasiswa bereaksi keras terhadap kesewenang-wenangan DPRD NTB tersebut, dengan menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPRD NTB, Udayana, Mataram, Kamis (10/11/2022).

Mereka menuntut agar DPRD mencabut laporan polisi yang dilayangkan terhadap aktivis lantaran bertanya terkait dugaan pesta narkoba tiga oknum anggota dewan.
“Pertanyaan yang disampaikan oleh rakyat itu agar DPR mencari tahu siapa saja oknum anggota DPRD yang menggunakan narkoba. Tetapi malah yang bertanya itu dilaporkan ke Polisi,” kata Kordinator Aksi, Kusnadi.

Dalam aksi tersebut, mahasiswa long march dari perempatan Bank Indonesia menuju Kantor DPRD NTB. Tiba di DPRD, mereka kemudian berorasi sambil membakar keranda mayat dan memaksa untuk menduduki gedung.

Mahasiswa menganggap cara yang dilakukan oleh Pimpinan DPRD dengan melaporkan warga yang bertanya tersebut merupakan bentuk anti kritik.

“Padahal seharusnya anggota dewan, yang juga merupakan wakil rakyat harus mengedepankan sikap humanis, bukan dengan mengkriminalisasi rakyatnya,” ujarnya.

Pengamat: Kesewenangan DPR NTB Menimbulkan Kegaduhan

Alih-alih menegakkan hukum kepada warga yang bertanya, DPRD Provinsi NTB justru menciptakan kegaduhan, karena sebuah pertanyaan warga bukannya dijawab, malah lantas diganjar dengan tuntutan hukum.

Pengamat Kebijakan Publik NTB – Eddy Sophiaan menyatakan bahwa langkah hukum yang dilakukan oleh DPRD NTB tersebut justru menciptakan kegaduhan dimasyarakat dan menciptakan rasa takut kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada para legislator.

“Pertanyaan di Forum WA yang memang dibuat sebagai media untuk menampug aspirasi, seharusnya menjadi sarana diskusi dan klarifikasi antara pejabat dengan rakyat secara lebih intens dan penuh keakraban, jika langsung diseret keranah hukum justru oleh pejabatnya, ini justru menimbulkan preseden buruk bagi institusi DPR NTB itu sendiri, rakyat jadi merasa terancam dikriminalisasi jika ingin bertanya kepada wakilnya” ujar Eddy.

Eddy Sophiaan yang pula merupakan Ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila NTB itu menambahkan, bahwa langkah hukum yang diambil oleh DPR NTB tersebut merupakan langkah yang mengarah kepada “Pembungkaman Demokrasi” dan menodai azaz keterbukaan informasi yang dijamin oleh Undang-Undang serta konstitusi negara.

Eddy pula menyatakan, bahwa DPR NTB justru menimbulkan kegaduhan yang sebenarnya berpangkal dari masalah sepele dan dapat mengancam citra DPRD NTB dimata masyarakat NTB.

“Yang saya lihat, masalahnya sepele, seorang warga bertanya soal kabar yang ia terima benar atau tidak, langsung kepada wakil rakyatnya, ini seperti anda (Wartawan-RED) bertanya kepada narasumber, seharusnya dijawab saja dengan fakta dan ciptakan diskusi yang hangat di grup itu. Masalah menyebar dipublik, tentu saja dimungkinkan, namanya juga grup publik terbuka, anggota bisa saja melakukan Screen Shot lalu disebar disosial media sebagai bentuk membantu DPRD untuk klarifikasi bahwa kabar burung itu sudah ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan dan benar atau tidak benar, simple sebenarnya jika ditanggapi dengan berpikir positif” imbuh Eddy.

Eddy menyarankan kepada keduabelah pihak sebaiknya mencabut seluruh keterkaitan aparat hukum untuk mencegah kegaduhan yang lebih besar lagi ditengah masyarakat, dan menggelar musyawarah yang kekeluargaan.

“Namanya Dewan Permusyawaratan Rakyat, harusnya memberikan ketauladanan soal kearifan permusywaratan dan mengedepankan proses-proses penyelesaian masalah dengan cara bermusyawarah, bukan malah reaktif dan emosional dan menarik segala masalah kejalur hukum, ini bahaya, menakut-nakuti rakyat banyak, nanti rakyat akan takut untuk bertanya kepada wakilnya” pungkas Eddy. [DSPSH/RED/DLL]


Bagikan: